Agar sumber daya alam bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, maka tak ada jalan lain kecuali mengimplementasikan prinsip tiga pilar yaitu:
- kedaulatan,
- keberlanjutan,
- dan kesejahteraan.
Tiga pilar inilah yang menjadi misi Susi Pudjiastuti tatkala dirinya didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Kabinet Kerja, guna mewujudkan visi yang dicanangkan Presiden Joko Widodo yakni laut sebagai masa depan bangsa. Seperti sektor-sektor lainnya, sektor perikanan Indonesia selama berpuluh-puluh tahun juga tidak dikelola secara berdaulat, tidak berkelanjutan, dan tidak mensejahterakan.
Jika kondisi ini dibiarkan, International Union for Conservation of Nature memproyeksikan potensi tangkapan ikan di perairan Indonesia akan anjlok hingga 40 persen pada tahun 2050. Bahkan, berdasarkan kajian UCSB dan Balitbang Kelautan dan Perikanan, jika eksploitasi berlebihan terus dibiarkan, biomassa ikan di perairan nusantara akan anjlok hingga 81 persen pada tahun 2035.
Kapal-kapal asing dan eks asing juga menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan sehingga merusak ekosistem dan mengancam kelestarian stok ikan.
Penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (Illegal, unreported, unregulated/IUU Fishing) memenuhi perairan Indonesia, menginjak-injak kedaulatan dan mengabaikan kelestarian.
Laut yang seharusnya menjadi sumber kesejahteraan nelayan lokal, makin lama tak bisa lagi diandalkan sebagai mata pencaharian. Tangkapan nelayan lokal terus menurun akibat tak mampu bersaing dengan kapal-kapal besar milik asing. Ikan pun seolah hilang seiring rusaknya ekosistem dan terumbu karang.
Berdasarkan survei BPS periode 2003 - 2013, jumlah rumah tangga nelayan turun dari 1,6 juta menjadi hanya sekitar 800.000. Selain itu, sebanyak 115 perusahaan pengolahan ikan nasional gulung tikar akibat tak mendapat pasokan ikan mengingat kapal-kapal illegal fishing langsung membawa ikan curiannya ke luar negeri.
Untuk mewujudkan misi kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, tentu saja IUU Fishing, overfishing, dan penangkapan yang merusak (destructive fishing) harus diberantas.
KKP pun merumuskan secara matang dan komprehensif kebijakan reformasi total sektor perikanan termasuk target-target pencapaiannya.
Sebagai langkah awal pemberantasan IUU Fishing, KKP menerbitkan Permen KP nomor 56 tahun 2014 tentang moratorium izin untuk kapal eks asing. Kapal eks asing merupakan kapal yang awalnya dimiliki asing atau kapal yang diimpor dari negara lain yang kemudian benderanya diganti dengan bendera Indonesia sehingga menjadi kapal nasional.
Kebijakan moratorium ini sebagai pintu masuk pemerintah untuk melakukan analisis dan evaluasi (anev) terhadap 1.605 kapal eks asing.
Hasil anev menunjukkan seluruh kapal eks asing yang beroperasi di Indonesia terbukti melakukan illegal fishing mulai dari penggandaan izin, menggunakan alat tangkap trawl, tidak membayar pajak, hingga perbudakan, dan penyelundupan.
KKP juga menerbitkan Permen KP no 57/2014 tentang larangan alih muat (transshipment) di tengah laut. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran transshipment banyak disalahgunakan dengan langsung membawa hasil tangkapan ikan ke luar negeri tanpa dilaporkan ke otoritas setempat. Sejak transshipment dilarang, pasokan ikan ke industri pengolahan di sejumlah negara turun drastis.
Ini membuktikan bahwa sebagian besar pasokan ikan ke negara-negara tetangga merupakan hasil illegal fishing dari perairan Indonesia.
Selain menerbitkan aturan, KKP juga melakukan strategi lain untuk memberantas illegal fishing. Dengan dukungan penuh Presiden Jokowi, KKP menegakkan hukum secara tegas di laut termasuk menenggelamkan kapal-kapal ikan asing yang kedapatan melakukan illegal fishing. Pembakaran dan penenggelaman kapal illegal fishing asing bukanlah kebijakan baru karena praktik itu telah diatur dalam pasal 69 ayat 4 UU no 45/2009 tentang perikanan.
Menteri Susi mengumpulkan para duta besar negara-negara tetangga yang nelayannya banyak melakukan illegal fishing di Indonesia.
Negara-negara itu antara lain Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, dan China.
Menteri Susi meminta mereka untuk memberitahu para nelayan di negaranya masing-masing agar tak lagi melakukan illegalfishing di perairan Indonesia. Sebab, Indonesia kini akan menegakkan hukum secara tegas dan tak ragu-ragu menenggelamkan kapal ikan yang terbukti melanggar hukum.
Di dalam negeri, Menteri Susi meminta aparat dan birokrat tak lagi melindungi kapalkapal illegal fishing. Pengusaha-pengusaha perikanan nasional juga diingatkan agar tak lagi melakukan illegal fishing kecuali jika ingin kapalnya ditenggelamkan dan pelakunya dipidanakan.
Untuk mendukung misi KKP, Presiden Jokowi kemudian mengesahkan Perpres No. 115 Tahun 2015 tentang Satuan Tugas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Illegal Fishing) pada tanggal 19 Oktober 2015 guna mendukung upaya peningkatan penegakan hukum terhadap pelanggaran dan kejahatan di bidang perikanan khususnya penangkapan ikan secara ilegal secara terpadu.
Satuan tugas tersebut dikenal dengan nama “Satgas 115”. Satgas 115 merupakan penyelenggara penegakan hukum satu atap (one roof enforcement system), yang terdiri atas unsur TNI AL, Polri, BAKAMLA dan Kejaksaan Republik Indonesia, sehingga memudahkan koordinasi, mendorong sinergi dan melaksanakan fungsi fasilitasi dalam memberantas illegal fishing untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan memberikan efek jera.
Satgas 115 berada di bawah Presiden dengan Menteri Kelautan dan Perikanan sebagai Komandan Satgas. Hingga kini sudah 317 kapal illegal fishing ditenggelamkan Satgas 115. KKP meyakini penenggelaman kapal merupakan kebijakan yang efektif untuk memberantas illegal fishing. Selama armada kapal pengawas perikanan masih kurang, maka cara yang efektif untuk memagari perairan kita dari pencurian ikan adalah menegakkan hukum secara tegas sehingga bisa memberikan efek jera dan efek gentar kepada para pelaku illegal fishing. Kebijakan penenggelaman kapal yang dilakukan pemerintah Indonesia pun bergema ke seluruh dunia. Para pelaku illegal fishing tak lagi bebas mencuri ikan di perairan Indonesia.
Untuk menutup rapat-rapat kapal asing dan eks asing beroperasi kembali di perairan Indonesia, KKP kemudian mengusulkan larangan investasi asing pada usaha perikanan tangkap. Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Perpres 44/2016 tentang daftar negatif investasi asing dengan usaha penangkapan ikan dinyatakan tertutup untuk asing. Dengan kata lain, modal usaha penangkapan ikan 100 persen harus berasal dari dalam negeri. Sebaliknya, untuk menarik masuk investasi, asing diperbolehkan berinvestasi hingga 100 persen pada usaha pengolahan ikan. Dengan rangkaian kebijakan tersebut, sektor perikanan Indonesia pun menjadi berdaulat dan berkelanjutan. Tegaknya pilar kedaulatan dan keberlanjutan otomatis akan melahirkan pilar kesejahteraan.
Pemberantasan IUU Fishing telah membuat produksi perikanan tangkap laut nasional melonjak drastis selama semester I 2017. Selama periode tersebut, hasil tangkapan laut mencapai 3,35 juta ton, naik 11,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta ton, berdasarkan data dari Pusat Data Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Seiring melonjaknya produksi ikan yang ditangkap, kesejahteraan nelayan pun kian meningkat. Hal itu terlihat dari indikator nilai tukar nelayan (NTN) maupun nilai tukar usaha nelayan (NTUN) yang terus membaik secara signifikan. Meningkatnya produksi tangkapan laut yang tercatat dari nelayan-nelayan nasional pun akan menguntungkan keuangan negara baik berupa pajak maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Pemberantasan IUU Fishing tidak hanya menguntungkan negara dari segi penerimaan pajak dan PNBP, tapi juga menyelamatkan uang negara triliunan rupiah dari bbm bersubsidi yang banyak dipakai kapal illegal fishing.
Pemberantasan IUU Fishing juga membuat stok tangkapan ikan lestari (maximum suistainable yield/MSY) meningkat drastis dari 7,31 ton per tahun pada 2013 menjadi 12,54 juta ton saat ini.
Untuk mewujudkan pilar kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan, KKP tak hanya memberantas IUU Fishing, overfishing, dan destructive fishing. KKP juga merekonstruksi kembali sistem perikanan tangkap yang cocok diterapkan di Indonesia. KKP menilai lautlaut di Indonesia berada di antara pulau-pulau sehingga cenderung sempit dan dangkal. Karena itu, merupakan hal yang salah kaprah jika kapal-kapal ikan berukuran besar diizinkan menangkap ikan di perairan Indonesia. Jika kapal-kapal besar diperbolehkan, maka dalam waktu singkat, ikan di perairan Indonesia akan habis. Kapal-kapal besar hanya cocok digunakan untuk menangkap ikan di laut lepas (high sea) yang luas dan dalam, seperti yang dipraktikkan beberapa negara seperti Jepang, China, dan Spanyol. Indonesia tak perlu memiliki kapal-kapal besar untuk berburu ikan hingga ke laut lepas karena di pesisir pun ikan tak akan pernah habis sepanjang penangkapannya tidak berlebih dan merusak. Jadi sistem perikanan tangkap yang cocok untuk Indonesia adalah perikanan pesisir dengan dominasi para nelayan yang menggunakan kapal-kapal kecil. Kapal-kapal ikan berukuran sedang tetap diperlukan namun harus dibatasi jumlahnya. Konsep tersebut diyakini akan melestarikan stok ikan sehingga kekayaan laut bisa diwariskan ke anak cucu. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya ikan bukanlah dengan menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan kapal-kapal besar. Optimalisasi adalah bagaimana agar tangkapan nelayan tetap terjaga kualitasnya dan bisa menggerakkan ekonomi di daerah bersangkutan. Dengan demikian, industri perikanan tak hanya dikuasai segelintir pengusaha, namun dapat digeluti oleh siapa saja yang ingin berkecimpung dalam bisnis perikanan.
Untuk mengoptimalkan dan mendorong industri perikanan, KKP pun membuat program Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) dan sistem logistik ikan. SKPT merupakan pembangunan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan dengan sektor kelautan dan perikanan sebagai penggerak utamanya. Tak hanya mendorong industri perikanan di pulau-pulau kecil, konsep SKPT juga merupakan upaya membangun Indonesia dari pinggiran seperti yang termaktub dalam Nawacita serta menjadikan daerah-daerah terluar sebagai beranda depan Indonesia.
Konsep SKPT adalah mengintegrasikan rantai nilai bisnis perikanan dalam satu lokasi. Dengan demikian, tahapan mulai dari pendaratan ikan, pengolahan ikan, hingga pemasarannya dapat dilakukan secara efektif dan efisien. SKPT menyediakan seluruh sarana dan prasarana bisnis perikanan seperti pelabuhan ikan, tempat pelelangan ikan, coldstorage, tempat perbaikan kapal, penyediaan bbm dan es, karantina untuk ekspor hingga tempat penginapan untuk nelayan.
Konsep SKPT juga bertujuan menciptakan sistem logistik ikan yang lebih efisien karena dekat dengan pasar ekspor. Dalam hal ini, daerah SKPT akan langsung menjadi pintu gerbang (gateway) untuk ekspor. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, ditetapkanlah 12 pulau terluar sebagai SKPT, yakni Natuna, Saumlaki, Merauke, Mentawai, Nunukan, Talaud, Morotai, Biak Numfor, Mimika, Rote Ndao, Sumba Timur, dan Sabang. Dari Saumlaki misalnya, ikan bisa langsung diekspor ke Darwin Australia, yang dengan pesawat hanya memakan waktu kurang dari 1 jam. Ini lebih efisien ketimbang ikan dibawa dulu ke Jakarta atau Surabaya baru kemudian diekspor atau dijual untuk kebutuhan domestik Adapun dari Natuna, ikan bisa langsung diekspor ke Hongkong, sementara dari Morotai atau Biak, ikan langsung diekspor ke Jepang melalui Palau. Ekspor hasil perikanan dari SKPT ke negara terdekat diharapkan akan menjadi “sirip” yang menggerakkan perekonomian di wilayah-wilayah perbatasan.
0 komentar:
Post a Comment